Statistika memainkan peranan yang semakin penting hampir dalam semua tahap usaha manusia saat ini. Kemampuan statistik menampilkan dan menyelesaikan persoalan yang kompleks dalam wujud angka, telah menjadikan metode yang berdayaguna untuk menentukan pilihan.Walaupun demikian, saat ini banyak pihak yang menganggap statistik sebagai pisau bermata dua. Selain kontribusinya pada dunia penelitian, statistik bisa membuat fakta tampak berbeda, keliru bahkan menyesatkan ketika berada pada tangan yang salah. Banyak kasus serupa yang dihadapi akhir-akhir ini, mulai dari quick count pilkada hingga penafsiran jumlah angka kemiskinan yang selalu berbuntut pada sebuah kesimpulan ketidakindependensian bahwa semua angka-angka tersebut tidak akan pernah lepas dari siapa yang mengeluarkan.
Benjamin Disraell (1804 – 1881) mengatakan bahwa ada tiga macam kebohongan di dunia ini, yaitu ngibul, bohong dan statistik. Kendati peringatan ini telah berusia lebih dari seabad, statistik yang menyesatkan masih relevan pada situasi saat ini. Masih ingat iklan “ 7 dari 10 perempuan menggunakan produk X”? atau “2 dari 5 perempuan Indonesia terkena osteoporosis”? Jika anda tidak berhati-hati maka Anda akan menelan “hasil riset” itu bulat-bulat. Dalam bukunya “Berbohong dengan Statistik”, Darrel Huff bahkan melabeli bukunya dengan “buku panduan bagi para penipu” karena dengan sangat gamblang dia paparkan cara-cara menggunakan statistik untuk mengelabui. Tetapi di lain sisi, buku tersebut seakan dimaksudkan bagi para pengguna statistik agar tidak selalu menelan bulat-bulat sebuat statemen dengan content statistik. Agar orang jujur tidak selau tertipu dan dibodohi oleh statistik.
STATISTIKULASI
Sampel yang Pada Dasarnya Sudah Bias
Memberi informasi yang salah dengan menggunakan bahan-bahan statistik bisa dikatakan memanipulasi statistik. Statistikulasi, demikian Huff menyebutnya, karena Anda dapat menggunakan statistik untuk manipulasi. Jika ada sebuah perusahaan yang butuh untuk menyakinkan masyarakat bahwa produknya digunakan 7 wanita dari 10 wanita Indonesia, maka perusahaan tersebut hanya perlu menanyai semua wanita yang lewat di depan mall di sebuah kota di Indonesia. Dan ketika 70 dari 100 wanita tersebut menyatakan “ya, saya menggunakan produk itu maka akan muncul penyimpulan: 7 dari 10 wanita Indonesia mengguankan produk saya. Anda bisa melihat bagaimana generalisasi sampel yang bias terjadi di sini. Bayangkan…dari sebuah mall di sebuah kota (mungkin terpencil) Anda bisa mengeneralisasinya seakan-akan produk tersebut dipakai oleh seluruh wanita Indonesia!
Contoh lain, misalkan seseorang mengirim 1000 angket kepada sekelompok masyarakat di kota A, dimana salah satu pertanyaannya adalah: “Sukakah Anda mengisi angket?”. Tak lama berselang, dari 1000 angket yang dikirimkan, 200 diantaranya kembali. Dan dari 200 angket yang kembali tersebut, semuanya mengatakan “Ya, saya suka mengisi angket”. Parahnya, sang periset selanjutnya membuat kesimpulan yang dipublikasikan bahwa: “Masyarakat kota A suka mengisi angket”. Jelas kesimpulan tersebut sangat bias, karena Sang periset tidak memperhitungkan 800 angket yang tak kembali. Bisa jadi, angket yang tak kembali tersebut disebabkan karena masyarakat tidak suka dengan angket karena mereka tidak punya waktu untuk mengisinya. Kesalahan besar periset adalah, dia mengambil kesimpulan dari sampel yang bias, yaitu 200 sampel dari 1000 kuesioner yang dia sebarkan, dengan mengabaikan 800 kuesioner yang tak kembali.
Mean dengan Pencilan
Ada sebuah hasil penelitian sekelompok mahasiswa KKN yang dilakukan di sekitar kantor Valid Consulting, yang menyebutkan bahwa penduduk masyarakat di sana berpenghasilan rata-rata Rp 3 juta/bulan. Kami langsung melotot ketika membaca angka tersebut. Bagaimana mungkin, penduduk yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap, buruh pabrik bahkan pengangguran memiliki penghasilan sebesar gaji anggota KPU kabupaten per-bulannya? Salah seorang personil Valid bertanya kepada mahasiswa tersebut:
“Berapa sampel yang Anda gunakan?”
“Kami tidak menggunakan sampel, kami melakukan survei. Semua populasi di seluruh RW ini, kami interview. Jumlah total populasi 210 jiwa”, tutur kepala suku mahasiswa KKN tersebut, mantap.
Kami sudah mulai curiga dengan kata “survey” disana. Jangan-jangan, mereka tidak melakukan filter data dan mengeluarkan pencilan data yang ada pada responden mereka. Dan ternyata benar! Di wilayah RW tersebut tinggal 2 orang pengusaha, satu orang berkebangsaan Korea yang memiliki pabrik sarung tangan golf dengan omset bulanan hampir 1 Milyar rupiah dan seorang pengusaha lokal yang “jualan” gypsum dengan omset Rp 250 juta/bulan. Bisa Anda bayangkan, apa jadinya ketika penghasilan seluruh RW (termasuk 2 orang pengusaha tersebut) dirata-rata jadi satu?
Buat kami, yang paling menyedihkan ketika hasil penelitian mereka selanjutnya dimuat dalam jurnal penelitian di kampus mereka dengan tajuk: “Keberhasilan Petani di RW X dalam meningkatkan kualitas hidupnya”.
Telepoling
Dalam sebuah survei yang dilakukan melalui media telepon rumah (kabel) di kota-kota besar di Indonesia, seorang peneliti menanyakan “Apakah Anda kenal Barack Obama?” 90% responden menyatakan mereka mengenal Obama. Peneliti selanjutnya menyimpulkan “Barack Obama sangat populis di Indonesia”. Kami nyengir membacanya.
Kesalahan pertama, peneliti melakukan survei sampel menggunakan telepolling. Bisa Anda hitung, berapa banyak penduduk Indonesia yang memiliki telepon di rumahnya? Telepon rumah masih menjadi barang mewah di negeri ini, jadi sampel dalam penelitian tersebut hanya mammpu mencover kalangan menengah ke atas, dengan menafikkan masyarakat Indonesia, yang sebagian besar tidak memiliki telefon rumah.
Kesalahan kedua, penelitian mengeneralisir kesimpulan. Penelitian tersebut akan “oke-oke” saja jika peneliti tidak mengenalisirnya menjadi “masyarakat Indonesia”. Kami yakin, hanya segelintir pendududk Indonesia yang peduli dengan terpilihnya Obama. Sisanya? Seorang ibu yang tinggal di lingkungan kami menjawab, “EGP (Emang Gue Pikirin) Obama! Emang kalo Obama kepilih trus aku bisa beli beras murah? Bisa bayar sekolah anakku yang udah nunggak 3 bulan? Bisa dapet kerjaan yang selaen jadi buruh?
***
Sumber:
Huff, Darell & Geis, Irving. 1973. How to Lie with Statistics. Penguin Books.
Valid Consulting. 2008. Catatan Harian Riset. Hasil observasi dan inteview. Tidak diterbitkan.
Benjamin Disraell (1804 – 1881) mengatakan bahwa ada tiga macam kebohongan di dunia ini, yaitu ngibul, bohong dan statistik. Kendati peringatan ini telah berusia lebih dari seabad, statistik yang menyesatkan masih relevan pada situasi saat ini. Masih ingat iklan “ 7 dari 10 perempuan menggunakan produk X”? atau “2 dari 5 perempuan Indonesia terkena osteoporosis”? Jika anda tidak berhati-hati maka Anda akan menelan “hasil riset” itu bulat-bulat. Dalam bukunya “Berbohong dengan Statistik”, Darrel Huff bahkan melabeli bukunya dengan “buku panduan bagi para penipu” karena dengan sangat gamblang dia paparkan cara-cara menggunakan statistik untuk mengelabui. Tetapi di lain sisi, buku tersebut seakan dimaksudkan bagi para pengguna statistik agar tidak selalu menelan bulat-bulat sebuat statemen dengan content statistik. Agar orang jujur tidak selau tertipu dan dibodohi oleh statistik.
STATISTIKULASI
Sampel yang Pada Dasarnya Sudah Bias
Memberi informasi yang salah dengan menggunakan bahan-bahan statistik bisa dikatakan memanipulasi statistik. Statistikulasi, demikian Huff menyebutnya, karena Anda dapat menggunakan statistik untuk manipulasi. Jika ada sebuah perusahaan yang butuh untuk menyakinkan masyarakat bahwa produknya digunakan 7 wanita dari 10 wanita Indonesia, maka perusahaan tersebut hanya perlu menanyai semua wanita yang lewat di depan mall di sebuah kota di Indonesia. Dan ketika 70 dari 100 wanita tersebut menyatakan “ya, saya menggunakan produk itu maka akan muncul penyimpulan: 7 dari 10 wanita Indonesia mengguankan produk saya. Anda bisa melihat bagaimana generalisasi sampel yang bias terjadi di sini. Bayangkan…dari sebuah mall di sebuah kota (mungkin terpencil) Anda bisa mengeneralisasinya seakan-akan produk tersebut dipakai oleh seluruh wanita Indonesia!
Contoh lain, misalkan seseorang mengirim 1000 angket kepada sekelompok masyarakat di kota A, dimana salah satu pertanyaannya adalah: “Sukakah Anda mengisi angket?”. Tak lama berselang, dari 1000 angket yang dikirimkan, 200 diantaranya kembali. Dan dari 200 angket yang kembali tersebut, semuanya mengatakan “Ya, saya suka mengisi angket”. Parahnya, sang periset selanjutnya membuat kesimpulan yang dipublikasikan bahwa: “Masyarakat kota A suka mengisi angket”. Jelas kesimpulan tersebut sangat bias, karena Sang periset tidak memperhitungkan 800 angket yang tak kembali. Bisa jadi, angket yang tak kembali tersebut disebabkan karena masyarakat tidak suka dengan angket karena mereka tidak punya waktu untuk mengisinya. Kesalahan besar periset adalah, dia mengambil kesimpulan dari sampel yang bias, yaitu 200 sampel dari 1000 kuesioner yang dia sebarkan, dengan mengabaikan 800 kuesioner yang tak kembali.
Mean dengan Pencilan
Ada sebuah hasil penelitian sekelompok mahasiswa KKN yang dilakukan di sekitar kantor Valid Consulting, yang menyebutkan bahwa penduduk masyarakat di sana berpenghasilan rata-rata Rp 3 juta/bulan. Kami langsung melotot ketika membaca angka tersebut. Bagaimana mungkin, penduduk yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap, buruh pabrik bahkan pengangguran memiliki penghasilan sebesar gaji anggota KPU kabupaten per-bulannya? Salah seorang personil Valid bertanya kepada mahasiswa tersebut:
“Berapa sampel yang Anda gunakan?”
“Kami tidak menggunakan sampel, kami melakukan survei. Semua populasi di seluruh RW ini, kami interview. Jumlah total populasi 210 jiwa”, tutur kepala suku mahasiswa KKN tersebut, mantap.
Kami sudah mulai curiga dengan kata “survey” disana. Jangan-jangan, mereka tidak melakukan filter data dan mengeluarkan pencilan data yang ada pada responden mereka. Dan ternyata benar! Di wilayah RW tersebut tinggal 2 orang pengusaha, satu orang berkebangsaan Korea yang memiliki pabrik sarung tangan golf dengan omset bulanan hampir 1 Milyar rupiah dan seorang pengusaha lokal yang “jualan” gypsum dengan omset Rp 250 juta/bulan. Bisa Anda bayangkan, apa jadinya ketika penghasilan seluruh RW (termasuk 2 orang pengusaha tersebut) dirata-rata jadi satu?
Buat kami, yang paling menyedihkan ketika hasil penelitian mereka selanjutnya dimuat dalam jurnal penelitian di kampus mereka dengan tajuk: “Keberhasilan Petani di RW X dalam meningkatkan kualitas hidupnya”.
Telepoling
Dalam sebuah survei yang dilakukan melalui media telepon rumah (kabel) di kota-kota besar di Indonesia, seorang peneliti menanyakan “Apakah Anda kenal Barack Obama?” 90% responden menyatakan mereka mengenal Obama. Peneliti selanjutnya menyimpulkan “Barack Obama sangat populis di Indonesia”. Kami nyengir membacanya.
Kesalahan pertama, peneliti melakukan survei sampel menggunakan telepolling. Bisa Anda hitung, berapa banyak penduduk Indonesia yang memiliki telepon di rumahnya? Telepon rumah masih menjadi barang mewah di negeri ini, jadi sampel dalam penelitian tersebut hanya mammpu mencover kalangan menengah ke atas, dengan menafikkan masyarakat Indonesia, yang sebagian besar tidak memiliki telefon rumah.
Kesalahan kedua, penelitian mengeneralisir kesimpulan. Penelitian tersebut akan “oke-oke” saja jika peneliti tidak mengenalisirnya menjadi “masyarakat Indonesia”. Kami yakin, hanya segelintir pendududk Indonesia yang peduli dengan terpilihnya Obama. Sisanya? Seorang ibu yang tinggal di lingkungan kami menjawab, “EGP (Emang Gue Pikirin) Obama! Emang kalo Obama kepilih trus aku bisa beli beras murah? Bisa bayar sekolah anakku yang udah nunggak 3 bulan? Bisa dapet kerjaan yang selaen jadi buruh?
***
Sumber:
Huff, Darell & Geis, Irving. 1973. How to Lie with Statistics. Penguin Books.
Valid Consulting. 2008. Catatan Harian Riset. Hasil observasi dan inteview. Tidak diterbitkan.
No comments:
Post a Comment